Demokrat Beberkan Tiga Perlakuan Tak Adil Aparat Penegak Hukum
JAKARTA - Sekretaris Jenderal DPP Partai DemokratHinca Panjaitan mengungkapkan perlakuan tak adil dan sewenang-wenang institusi negara yakni aparat penegak hukum kepada partai dan kadernya sejak pelaksanaan Pilkada 2017.
"Perlakuan tidak adil
terhadap Partai Demokrat ini bukan pertama kali, tetapi yang kesekian
kali," ujar Hinca di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Rabu malam
(3/1/2018).
Hinca mengatakan, semula
partainya memilih diam dan enggan menanggapi perlakuan tak menyenangkan
tersebut. Namun, nyatanya perlakuan itu justru terus berulang-ulang terjadi.
"Semula Partai Demokrat
memilih untuk mengalah dan menahan diri dengan harapan hal-hal semacam ini
tidak terjadi lagi. Ternyata perlakuan tidak adil ini terjadi lagi dan terjadi
lagi," kata dia.
Hinca pun menerangkan
perlakuan-perlakuan yang merugikan partai dan kadernya tersebut. Pertama, pada
saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Ketika itu pasangan yang diusung partai
Demokrat bersama PPP, PKB dan PAN yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana
Murni diperiksa pihak Kepolisian. Tak tanggung-tanggung, Sylviana diperiksa
bersama suaminya.
Sylviana diperiksa atas dua kasus
yakni dugaan korupsi pembangunan Masjid Al Fauz di kompleks kantor Wali Kota
Jakarta Pusat dan dugaan korupsi pengelolaan dana hibah DKI Jakarta untuk
Kwarda Pramuka Jakarta.
"Diperiksa penyidik pada
saat Pilkada sudah berproses sampai selesai yang pada waktu itu terpaksa harus
menggerus citra pasangan ini," kata Hinca.
"Pada akhirnya, ujungnya,
tidak diketahui kasus ini kapan berakhirnya, yang kita tahu hanya kapan
mulainya," tambah dia.
Hinca juga menyebut, suara
AHY-Sylviana tergerus oleh tuduhan dari mantan Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Antasari Azhar kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua
Umum DPP Partai Demokrat.
"Pada waktu itu kalau ingat,
pasangan AHY-Sylviana menempati survei paling tinggi. Tetapi kemudian
tergerus," ucap Hinca.
Saat itu Antasari berbicara
mengenai dugaan kriminalisasi terhadap dirinya. Saat kasus terjadi, SBY
menjabat sebagai Presiden. Karenanya, SBY disebut-sebut tahu persis kasus yang
menjerat Antasari.
Antasari pun terpaksa harus
mendekam di penjara selama delapan tahun lamanya. Gara-gara diduga terlibat
kasus pembunuhan bos Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.
"Sudah kami laporkan ke
penegak hukum yang sampai saat ini masih belum diproses secara tuntas,"
kata Hinca.
Hinca pun menerangkan bahwa
partainya memiliki bukti-bukti perlakuan tak adil dan sewenang-wenang tersebut
selama Pilkada Ibu Kota.
"Kami telah melakukan
investigasi dan telah memiliki buku putih yang pada waktunya akan kami buka,
agar tidak terulang lagi di masa-masa yang akan datang," terang dia.
Kedua, perlakuan tidak adil pada
proses Pilkada Papua 2018. Pasangan calon yang didukung Demokrat, Lucas Enembe
dan Klemen Tinal, gubernur dan wakil gubernur inkumben yang akan maju Pilkada
kembali dipaksa bercerai. Lucas dipaksa menerima wakil lain yang bukan
atas kehendaknya pada kisaran Oktober 2017 lalu.
"Lucas Enembe dipaksa
menerima wakil yang bukan atas keinginannya. Kemudian (diminta) menandatangani
untuk memenangkan partai tertentu. Padahal Pak Lucas adalah Ketua DPD Partai
Demokrat Papua," tegas Hinca.
Atas dasar itu, partai berlambang
Mercy tersebut membentuk tim pencari fakta (TPF) guna mengusut fakta yang
sebenarnya. Hasilnya pun sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Terima kasih kepada
Presiden Jokowi akhirnya kasus itu selesai. Tetapi pengalaman itu adalah
pengalaman Pilkada kedua yang diganggu. Itu yang kami sebut tidak
adil," lanjut Hinca.
Ketiga, perlakuan tak adil dan
semena-mena dalam kasus Pilkada Kalimantan Timur 2018. Di mana, Wali Kota
Samarinda, Syaharie Jaang yang akan maju Pilkada Kaltim bersama dengan Wali
Kota Balikpapan, Rizal Effendi juga dipaksa berpisah.
Jaang, kata Hinca, dipanggil oleh
partai politik tertentu sampai delapan kali agar mau menggandeng Kapolda
Kaltim, Irjen Pol Safaruddin sebagai wakilnya. Orang nomor satu di kepolisian
Kaltim itu sendiri diketahui telah mendaftar sebagai bakal calon gubernur di
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
"Maka secara etika politik
tidak baik kalau sudah berjalan. Kalau tidak, maka akan ada kasus hukum
yang akan diangkat," kata dia.
Meski sudah ditolak, Jaang pun
kembali diminta untuk berpasangan dengan Safaruddin.
"Pada 25 Desember 2017,
Syaharie Jaang dapat telepon diminta bertelepon kepada Kapolda dan kemudian
dinyatakan apakah dimungkinkan berpasangan lagi untuk bersama, dijawab tidak
mungkin karena ada pasangan," ungkap Hinca.
Ternyata, tak lama setelah
penolakan itu, tanggal 26 Desember 2017 Jaang dilaporkan ke Bareskrim Mabes
Polri. Hari berikutnya, tanggal 27 dan 29 Desember 2017 Jaang mendapatkan surat
untuk pemeriksaan.
Jaang yang juga Ketua Demokrat Kaltim
itu diperiksa sebagai saksi dalam kasus pemerasan dan pencucian uang dengan
terdakwa Ketua Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu (PDIB), Hery Susanto Gun alias
Abun, dan Manajer Lapangan KSU PDIB, Noor Asriansyah alias Elly.
Jaang diduga diperiksa terkait
terbitnya Surat Keputusan (SK) Nomor 551.21/083/HK-KS/II/2016 tentang Penetapan
Pengelola dan Struktur Tarif Parkir pada Area Parkir Pelabuhan Peti Kemas,
Palaran, atas nama KSU PDIB.
"Tentu mengagetkan, kita
minta (tanggal 27 Desember 2017) untuk ditunda. Tanggal 29 Desember 2017 keluar
lagi surat panggilan kedua untuk diperiksa tanggal 2 Januari 2018," kata
Hinca.
"Hari ini bersama penasehat
hukum kami mendampingi. Padahal perkara ini sudah disidangkan dan diputus untuk
terdakwa lain dan sudah tidak ada kasusnya. Kami merasa ketidakadilan,"
tambah dia.
Bukan hanya itu, Rizal yang akan
maju sebagai pendamping Jaang pun juga diperiksa di Polda Kaltim terkait kasus
dugaan korupsi Rumah Potong Unggas (RPU) di Kilometer 13, Kelurahan Karang
Joang, Balikpapan Utara.
Untuk itu Hinca menegaskan, jika
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dialami partai dan kadernya terus
dibiarkan. Ia khawatir kasus serupa akan kembali terulang pada gelaran Pilkada
2018 di 171 daerah mendatang.
"Kami pun ragu (khawatir)
ada lagi, karena akan ada 171 Pilkada," tutur Hinca. [kompas/rhm]
Post Comment