Hot News

Dede Yusuf: Aturan TKA Berbahasa RI Dihapus Rendahkan Martabat Bangsa


JAKARTA - Pemerintah berencana menghapus aturan Tenaga Kerja Asing (TKA) wajib bisa bahasa Indonesia jika ingin bekerja di Tanah Air. Namun hal ini mendapatkan penolakan dari Partai Demokrat.

Politikus Partai Demokrat Dede Yusuf mengatakan bahwa niatan pemerintah untuk menghapus aturan itu justru berbahaya. Dia menilai, hal ini akan merendahkan martabat bangsa di mata negara asing.

"Saya kurang setuju, karena akan ada implikasi sosial, budaya, dan perendahan martabat bangsa nantinya. Seolah-olah tidak ada lagi kontrol terhadap tenaga kerja asing," kata Dede, Minggu (23/8).

Ketua Komisi IX DPR ini menjelaskan, aturan TKA wajib berbahasa harusnya justru diperkuat. Karena hal ini penting demi kelancaran komunikasi pekerja antara atasan dan pegawainya nanti.

"Di seluruh negara setiap tenaga kerja ekspatriat sangat wajar bila wajib berkomunikasi dalam bahasa lokal. Karena mereka kerja bukan seminggu dua Minggu, namun bisa bekerja berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Perlu komunikasi dengan sesama pekerja, atasan, bawahan, atau pejabat setempat. Ini ditujukan agar pengawasan dan pelaporan tetap ada," tegas dia.

Ihwal alasan pemerintah menghapus aturan yang dibuat di era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) ini karena iklim investasi, menurut Dede, tidak cukup beralasan. Sebab, lanjut dia, selama menerapkan aturan ini, iklim investasi di bawah komando SBY baik-baik saja.

"Di era SBY investasi kita termasuk yang terbesar di Asia Tenggara. Bahkan Indonesia menjadi negara tujuan investasi. Jika dirasa bahasa menjadi kendala, bagaimana dengan negara lain tetapi ada aturan bahasa lokal, tapi enggak ada masalah," tegas dia.

Dede meyakinkan bahwa iklim investasi lesu bukan karena aturan TKA wajib berbahasa Indonesia. Dia menambahkan, ada hal lain yang bikin investasi lesu, salah satunya waktu bongkar muat barang di Pelabuhan atau dwelling time yang memakan waktu lama serta mahal.

"Kendala datang dari ketidakpastian, baik waktu maupun hukum. Ini yang penting diperbaiki. Seperti dwelling time kemarin," pungkasnya. [rhm/merdeka]